Banyak pemilik toko online merasa puas saat melihat laporan iklan yang menunjukkan angka konversi tinggi dari satu channel. Tapi, tahukah Anda kalau data itu bisa menyesatkan?
Jika Anda masih mengandalkan model last click attribution, kemungkinan besar Anda tidak benar-benar tahu channel mana yang paling berkontribusi terhadap penjualan.
Apalagi saat ini, Anda pasti sudah sadar kan kalau customer journey memang semakin kompleks, sehingga pendekatan ini sudah tidak relevan lagi.
Konsumen tidak langsung membeli setelah melihat satu iklan. Mereka bisa melalui 6–10 touchpoint sebelum akhirnya checkout.
Sayangnya, last click hanya memberikan kredit pada titik terakhir, dan mengabaikan peran channel lainnya dalam proses pengambilan keputusan.

Apa Itu Last Click Attribution dan Kenapa Bermasalah?
Last click attribution adalah model pelacakan yang memberikan seluruh kredit konversi kepada channel atau klik terakhir sebelum transaksi terjadi.
Misalnya, jika seseorang pertama kali melihat iklan Anda di TikTok, lalu follow Instagram Anda, buka email promosi, dan akhirnya klik iklan Google sebelum membeli, maka hanya Google Ads yang mendapat kredit.
Masalahnya? Semua channel lain yang membangun awareness dan minat sama sekali tidak dihitung. Ini membuat Anda salah dalam menilai performa channel dan akhirnya mengalokasikan budget secara tidak akurat.
Menurut white paper Redcomm “Why Most E-commerce Budgets Fail”, 83% pembelian e-commerce melibatkan lebih dari satu touchpoint, tapi mayoritas bisnis masih menggunakan metode last click yang tidak mencerminkan kenyataan.
Anda bisa membaca penjelasan lengkap dalam white paper tersebut dengan mengunduhnya terlebih dahulu di Alasan Budget Iklan Online Fail.
Dampak Buruk Jika Terus Mengandalkan Last Click

Kalau Anda masih mengandalkan laporan konversi dari satu channel saja, besar kemungkinan Anda sedang melihat data yang tidak utuh.
Pendekatan yang menyederhanakan seluruh customer journey menjadi satu titik terakhir justru bisa menyesatkan.
Mari kita lihat apa saja dampak serius yang bisa terjadi jika model last click attribution terus Anda gunakan tanpa pertimbangan yang lebih strategis:
1. Overinvest di Channel yang Kurang Efektif
Anda bisa saja terus mengucurkan dana ke channel yang tampak “menghasilkan konversi” di laporan, padahal perannya hanya di akhir proses pembelian.
Misalnya, Google Ads mungkin tercatat sebagai channel konversi tertinggi, padahal pelanggan sudah lebih dulu mengenal brand Anda lewat TikTok, membaca blog Anda, atau menerima email promosi sebelumnya.
Jika hanya mengandalkan data last click, Anda akan cenderung terus membanjiri channel akhir tanpa memperkuat channel yang membentuk minat dan kepercayaan sejak awal.
2. Mengabaikan Channel Pendukung yang Krusial
Channel seperti email marketing, blog edukatif, dan social media seringkali tidak mendapat kredit karena jarang menjadi titik akhir.
Padahal, channel ini membentuk fondasi kepercayaan dan mengedukasi calon pelanggan sebelum mereka siap membeli.
Jika Anda hanya fokus ke channel dengan angka konversi tinggi, Anda akan kehilangan peluang besar dari channel yang sebenarnya sangat penting untuk mendorong keputusan beli.
3. Tidak Optimal dalam Retargeting dan Nurturing Funnel
Dengan data atribusi yang tidak lengkap, Anda kesulitan memahami titik-titik di mana calon pelanggan butuh dorongan ekstra.
Hasilnya, strategi retargeting Anda jadi asal tembak, dan nurturing funnel tidak terarah.
Oleh karena itu, implementasi multi touch attribution memungkinkan Anda menyusun strategi yang menyentuh pelanggan dengan konten dan penawaran yang sesuai di setiap tahap perjalanan mereka.
4. Sulit Meningkatkan ROI Secara Strategis
Mengandalkan last click, seperti mencoba menyetir mobil dengan kaca spion, Anda tahu apa yang baru saja terjadi, tapi tidak tahu apa yang akan datang.
Tanpa pemahaman menyeluruh tentang bagaimana tiap channel berkontribusi dalam customer journey, Anda hanya menebak-nebak bagian mana yang perlu dioptimalkan.
Ini membuat keputusan strategi Anda lemah dan berisiko tinggi membuang anggaran secara tidak efisien.
Saatnya Ganti ke Multi Touch Attribution

Multi touch attribution (MTA) adalah pendekatan yang lebih canggih untuk memahami perilaku konsumen dalam proses pembelian.
Tidak seperti last click yang hanya memberi kredit pada satu titik, MTA membagi kontribusi konversi secara proporsional ke beberapa channel atau touchpoint yang dilalui pelanggan selama journey mereka.
Ada beberapa jenis model atribusi dalam MTA yang bisa Anda pilih sesuai kebutuhan bisnis:
- Linear attribution: Setiap channel mendapat porsi kredit yang sama. Cocok untuk brand yang ingin meratakan peran semua channel dalam campaign multi-lapis.
- Time decay: Semakin dekat touchpoint ke konversi, semakin besar kreditnya. Ini cocok jika Anda fokus mengoptimalkan bagian bawah funnel.
- Position-Based (U-Shaped): Touchpoint pertama dan terakhir mendapat porsi terbesar, misal 40%-40%. Sisanya bisa Anda bagi rata untuk touchpoint di tengah. Ideal jika Anda ingin menghargai channel pembuka awareness dan channel yang menutup transaksi.
Dengan menerapkan model MTA, Anda akan mendapatkan manfaat besar, seperti pemahaman detail tentang bagaimana audiens mengenal, mempertimbangkan, dan akhirnya membeli dari toko Anda.
Anda juga bisa mengalokasikan anggaran yang lebih cerdas, karena Anda tahu secara pasti channel mana yang benar-benar berperan dalam menciptakan konversi.
Selain itu, desain funnel marketing yang lebih relevan dan terukur memudahkan Anda melakukan analisis data pada setiap fase perjalanan konsumen.
Cara Mengimplementasikan Multi Touch Attribution
Ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk menerapkan strategi multi touch attribution yang bisa Redcomm digital marketing agency Indonesia rekomendasikan, yaitu:
- Mulailah dengan memilih tools yang mendukung MTA, seperti Google Analytics 4 atau HubSpot.
- Lakukan audit channel marketing untuk mengidentifikasi semua titik kontak yang dilalui pengguna.
- Setelah itu, uji beberapa model atribusi untuk melihat mana yang paling sesuai dengan pola perilaku pelanggan Anda.
- Jangan lupa sesuaikan reporting dan evaluasi kinerja dengan model yang Anda pilih agar strategi marketing bisa dieksekusi dengan lebih akurat dan ROI meningkat secara signifikan.
Dalam proses implementasi ini, Anda bisa menggunakan beberapa tools lain untuk Multi Touch Attribution, misalnya:
- Google Analytics 4 yang sudah mendukung model atribusi berbasis data dan multi-touch.
- HubSpot, alat yang mampu memberikan visualisasi journey pelanggan dan atribusi berbasis lifecycle.
- Segment + Mixpanel untuk analitik perilaku pelanggan multi-channel.
- Triple Whale, biasanya digunakan untuk Shopify, sangat cocok untuk brand DTC yang butuh pelacakan lintas channel.
Kenapa Ini Penting untuk Masa Depan Bisnis Anda?
Meninggalkan model last click attribution dan beralih ke multi-touch bukan sekadar upgrade teknis, namun ini adalah perubahan strategi yang fundamental.
Dalam situasi ketatnya persaingan bisnis akhir-akhir ini, Anda perlu benar-benar paham siapa pelanggan Anda sesungguhnya, perilaku pelanggan secara spesifik, hingga kebutuhan mereka. Tujuannya agar Anda bisa mengambil keputusan marketing yang lebih akurat.
Tanpa model atribusi yang tepat, Anda hanya akan menebak dan berharap yang terbaik. Tetapi dengan multi-touch attribution, setiap keputusan Anda akan didasarkan pada data konkret dari perjalanan konsumen yang sebenarnya, mulai dari awareness hingga pembelian.
Ini adalah dasar untuk membangun efisiensi, retensi, dan profitabilitas yang berkelanjutan di era e-commerce modern.
Last click attribution bukan sepenuhnya salah, tapi sangat terbatas. Jika Anda ingin memahami performa pemasaran secara lengkap dan mengambil keputusan berdasarkan data, sudah waktunya Anda beralih ke strategi multi touch attribution.
Ingin berdiskusi lebih lanjut mengenai cara mengefisiensikan budget marketing dan meningkatkan pencapaian hasil dari iklan e-commerce? Yuk, langsung diskusikan saja dengan menghubungi Kontak Redcomm.
Leave a Comment